Coba bayangkan, kamu baru saja gajian hari ini. Uang Rp5 juta sudah ada di rekening. Kamu mampir ke supermarket, harga beras 5 kg masih Rp80 ribu. Besoknya kamu balik lagi, harga naik jadi Rp200 ribu. Lusa? Sudah Rp1 juta.
Kamu mulai panik. Gaji yang seharusnya cukup untuk sebulan, ternyata habis dalam 3 hari. Inilah sedikit gambaran dari hiperinflasi, kondisi mengerikan di mana harga-harga melonjak begitu cepat sampai uang kehilangan nilainya.
Kedengarannya seperti adegan film distopia? Sayangnya, ini bukan fiksi. Ada banyak kisah kelam hiperinflasi cetak uang di dunia nyata. Dan kisah ini meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat yang mengalaminya.
Inflasi adalah hal wajar dalam ekonomi. Biasanya, inflasi sehat berkisar 2–5% per tahun. Artinya, harga-harga barang naik sedikit demi sedikit. Tapi ketika inflasi melonjak lebih dari 50% hanya dalam sebulan, barulah disebut hiperinflasi.
Penyebab utamanya bisa macam-macam: perang, krisis politik, jatuhnya harga komoditas, atau kebijakan pemerintah yang salah. Namun satu benang merah yang hampir selalu ada adalah: pemerintah mencetak uang berlebihan untuk menutup defisit.
Logikanya sederhana. Kalau kamu punya 1 liter air sirup untuk diminum 10 orang, rasanya masih manis. Tapi kalau kamu tuang air sirup itu ke 100 gelas, tentu rasanya hambar. Begitu pula uang. Semakin banyak jumlahnya beredar tanpa didukung barang/jasa nyata, semakin turun nilainya.
Setelah kalah Perang Dunia I, Jerman harus membayar reparasi perang dalam jumlah fantastis. Karena terdesak, pemerintah memilih mencetak uang tanpa henti.
Awalnya terlihat membantu. Tapi hanya dalam dua tahun, inflasi melonjak gila-gilaan. Pada 1923, 1 dolar AS setara dengan 4,2 triliun mark Jerman.
Kisah nyata dari masa itu benar-benar absurd:
Kehidupan sehari-hari hancur. Tabungan rakyat lenyap. Kepercayaan pada pemerintah anjlok. Trauma ini masih melekat dalam sejarah Jerman hingga sekarang.
Kalau bicara inflasi paling ekstrem, Hungaria memegang rekor. Setelah Perang Dunia II, ekonominya porak-poranda. Pemerintah mencetak uang demi menutup defisit.
Hasilnya? Harga barang naik dua kali lipat setiap 15 jam sekali. Ya, kamu tidak salah baca. Bayangkan pagi beli kopi Rp10 ribu, sore sudah jadi Rp20 ribu, malam naik lagi Rp40 ribu.
Mata uang mereka, pengő, nyaris tak ada harganya. Pemerintah sampai mencetak uang dengan nominal 100 triliun pengő, tapi tetap tak cukup untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
Saking parahnya, orang-orang lebih memilih barter barang daripada pakai uang. Akhirnya, Hungaria mengganti mata uangnya dengan forint, yang masih dipakai sampai sekarang.
Zimbabwe mungkin jadi contoh paling terkenal dari hiperinflasi modern. Awalnya, negara ini kaya raya dengan hasil pertanian dan sumber daya alam. Tapi kebijakan ekonomi yang salah kaprah menghancurkan semuanya.
Ketika pemerintah terus mencetak uang untuk menutup utang dan belanja negara, inflasi pun meledak. Pada 2008, laju inflasi Zimbabwe mencapai 231 juta persen per tahun.
Uang kertas dengan nominal 100 triliun dolar Zimbabwe diterbitkan. Tapi, kertas itu bahkan tidak bisa dipakai untuk beli satu roti.
Akhirnya, masyarakat lebih memilih menggunakan dolar AS atau rand Afrika Selatan untuk bertransaksi. Mata uang lokal Zimbabwe pun kehilangan nyawanya.
Kasus paling baru adalah Venezuela. Sebagai negara penghasil minyak, ekonomi Venezuela sempat berjaya. Namun, ketika harga minyak dunia jatuh, pendapatan negara anjlok. Ditambah lagi dengan kebijakan cetak uang besar-besaran, inflasi pun meroket.
Warga harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan sedikit makanan, obat, atau kebutuhan pokok. Uang miliaran bolivar kadang hanya cukup untuk sekantong beras.
Banyak masyarakat akhirnya bergantung pada dolar AS, kripto, atau barter untuk bertahan hidup. Krisis ini belum sepenuhnya berakhir hingga sekarang.
Kalau mendengar angka inflasi jutaan persen, mungkin terasa jauh dari realita. Tapi coba bayangkan bagaimana rasanya hidup dalam kondisi itu:
Singkatnya, hiperinflasi merampas stabilitas, kesejahteraan, bahkan harapan hidup masyarakat.
Secara teori, uang hanyalah alat tukar. Nilainya bukan datang dari kertasnya, tapi dari kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan produktivitas ekonomi.
Begitu pemerintah mencetak uang tanpa didukung nilai riil (produksi barang, jasa, atau cadangan emas), artinya mereka mencairkan nilai yang sudah ada. Sama seperti mencampur sirup dengan terlalu banyak air: volumenya banyak, tapi rasanya hambar.
Itulah kenapa cetak uang sembarangan sering disebut “obat palsu”. Terlihat seperti solusi cepat, tapi justru memperparah penyakit ekonomi.
Dari semua cerita ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik:
Syukurlah, Indonesia jauh dari risiko hiperinflasi. Tapi bukan berarti kita bisa santai. Inflasi tetap ada, walau nilainya kecil. Misalnya, harga bahan pokok naik sedikit tiap tahun, perlahan tabunganmu bisa berkurang nilainya.
Pertanyaannya: apakah kamu mau uangmu hanya “diam” dan terus kalah oleh inflasi? Atau kamu mau uangmu berkembang dan memberikan nilai tambah?
Kalau dari kisah tadi kita belajar bagaimana cetak uang bisa menghancurkan nilai, sekarang saatnya kita bicara solusi cerdas agar uangmu tidak ikut tergerus inflasi.
Produk FINETIKS VIP Save, hasil kerja sama dengan Bank Victoria, hadir untuk menjawab kebutuhan itu. Dengan tabungan ini, kamu bisa menikmati:
Dengan semua keunggulan ini, FINETIKS VIP Save bukan hanya tempat menaruh uang, tapi juga cara cerdas untuk menjaga nilainya tetap tumbuh.
Jadi, jangan tunggu sampai inflasi menggerogoti daya beli. Download aplikasi FINETIKS sekarang, dan nikmati manfaat nyata untuk keuanganmu.
Kisah kelam hiperinflasi cetak uang memberi kita satu pelajaran besar: uang hanyalah alat, nilainya bisa lenyap jika tidak dikelola dengan bijak. Jangan biarkan sejarah kelam itu jadi pengingat belaka. Saatnya kamu bertindak cerdas mulai hari ini, dengan cara melindungi dan mengembangkan tabunganmu di tempat yang tepat.