penyebab deflasi

7 Penyebab Deflasi dan Dampaknya bagi Kesehatan Dompet

July 9, 2025
7 Penyebab Deflasi dan Dampaknya bagi Kesehatan Dompet

Deflasi sering terdengar seperti kabar baik, harga-harga turun, siapa yang nggak senang? Tapi kenyataannya, deflasi bisa jadi mimpi buruk buat ekonomi. Penurunan harga yang berkepanjangan bisa bikin bisnis rugi, pengangguran meningkat, bahkan ekonomi negara lumpuh. Supaya kamu nggak salah langkah, penting banget untuk tahu apa saja penyebab deflasi, termasuk yang pernah terjadi di Indonesia, dan bagaimana cara menghadapinya dengan bijak.

Berikut ini adalah 7 penyebab utama deflasi yang wajib kamu ketahui.

1. Penurunan Permintaan Konsumen Secara Masif

Penyebab paling umum dari deflasi adalah turunnya permintaan barang dan jasa dalam skala besar. Saat konsumen menahan belanja karena takut resesi, penghasilan menurun, atau harapan harga akan terus turun, permintaan otomatis merosot. Akibatnya, produsen terpaksa menurunkan harga demi bisa menjual produknya.

Contohnya bisa kita lihat pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, daya beli turun drastis. Orang lebih fokus menyimpan uang karena ketidakpastian ekonomi. Ketika belanja ditunda atau dihentikan, roda ekonomi jadi melambat dan harga barang mulai jatuh.

Yang perlu diwaspadai adalah efek domino dari situasi ini. Ketika produsen tak sanggup lagi menanggung biaya produksi akibat minimnya pendapatan, mereka bisa melakukan PHK massal, dan ini akan semakin menekan konsumsi masyarakat. Deflasi pun makin parah.

2. Kelebihan Pasokan Barang

Penyebab deflasi berikutnya datang dari sisi penawaran: kelebihan pasokan barang di pasar. Ketika produksi lebih banyak dari permintaan, harga akan ditekan turun agar stok bisa cepat terjual. Ini sering terjadi dalam sektor pertanian atau komoditas ketika panen melimpah namun permintaan stagnan.

Misalnya, saat Indonesia mengalami surplus beras dalam beberapa periode, harga bisa anjlok jika distribusi tidak tertata rapi. Hal ini merugikan petani dan bisa menekan penghasilan masyarakat desa. Situasi seperti ini menciptakan tekanan deflasi, terutama di sektor tertentu.

Selain faktor pertanian, kelebihan pasokan juga bisa muncul dari peningkatan efisiensi teknologi, otomatisasi, atau kebijakan ekspor yang longgar. Ketika produksi tinggi tapi konsumsi tidak ikut naik, maka harga-harga terpaksa diturunkan agar pasar tetap bergerak.

3. Penurunan Upah dan Pendapatan

Kalau pendapatan masyarakat stagnan atau bahkan turun, otomatis daya beli ikut merosot. Hal ini bisa membuat permintaan barang dan jasa semakin lemah, yang akhirnya menekan harga turun. Ini salah satu efek domino yang berbahaya.

Di Indonesia, fenomena ini bisa terlihat pada sektor informal yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Ketika gaji atau upah harian menurun, orang akan mengurangi konsumsi, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun. Ini menurunkan perputaran uang dan memperbesar risiko deflasi.

Penurunan upah juga membuat masyarakat menunda pembelian besar seperti rumah, kendaraan, atau barang elektronik. Ketika permintaan barang-barang besar menurun, sektor industri dan manufaktur ikut terdampak.

4. Pengetatan Kebijakan Moneter

Bank sentral biasanya menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi. Tapi kalau dilakukan secara agresif, justru bisa menyebabkan deflasi. Suku bunga tinggi bikin kredit jadi mahal dan investasi melambat. Masyarakat pun lebih memilih menabung ketimbang belanja atau investasi.

Di Indonesia, kebijakan moneter ketat pernah dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun efektif untuk mengendalikan inflasi, efek sampingnya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan harga-harga secara umum jika permintaan tetap rendah.

5. Kuatnya Nilai Tukar Rupiah

Saat nilai tukar rupiah menguat secara signifikan terhadap mata uang asing, terutama dolar AS, harga barang-barang impor otomatis menjadi lebih murah. Sekilas ini tampak sebagai keuntungan: konsumen bisa membeli produk luar negeri dengan harga lebih terjangkau, dan tekanan inflasi pun mereda. Tapi, dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menyebabkan tekanan deflasi.

Kenapa? Karena barang impor yang lebih murah bisa menggerus daya saing produk lokal. Konsumen akan cenderung memilih barang impor dengan harga rendah dan kualitas bersaing, daripada membeli produk dalam negeri yang mungkin lebih mahal. Akibatnya, permintaan terhadap produk lokal menurun, stok menumpuk, dan produsen terpaksa menurunkan harga demi bertahan di pasar.

Situasi ini pernah terjadi di beberapa tahun ketika rupiah menguat tajam, seperti pada 2017. Sektor manufaktur dalam negeri mulai terasa tersisih oleh gempuran barang impor murah. Hal ini menekan marjin keuntungan pelaku industri lokal dan memicu potensi pemutusan hubungan kerja jika tak diimbangi dengan strategi pemasaran dan efisiensi yang matang. Dampak ini bisa menjadi pemicu deflasi yang diam-diam merambat ke sektor ekonomi lainnya.

6. Kemajuan Teknologi dan Efisiensi Produksi

Kemajuan teknologi memang membawa dampak positif yang luar biasa. Otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan digitalisasi telah membuat proses produksi jauh lebih cepat, murah, dan efisien. Tapi di sisi lain, efisiensi yang terlalu tinggi juga bisa memicu penurunan harga secara struktural.

Contohnya, di sektor manufaktur, otomatisasi pabrik memungkinkan produsen membuat lebih banyak barang dalam waktu lebih singkat dan dengan biaya operasional yang jauh lebih rendah. Hal ini tentu menurunkan harga pokok produksi. Akibatnya, harga jual barang pun ikut ditekan demi menjaga daya saing di pasar. Jika ini terjadi secara luas dan terus-menerus, bisa menimbulkan tekanan deflasi dalam jangka panjang.

Hal serupa juga terjadi di industri teknologi. Lihat saja ponsel pintar: setiap tahun keluar model baru dengan fitur canggih, tapi harga justru semakin terjangkau. Ini menciptakan ekspektasi konsumen bahwa harga barang teknologi akan terus turun, sehingga mereka cenderung menunda pembelian. Ekspektasi inilah yang memperkuat siklus deflasi.

Efisiensi teknologi tidak bisa dihindari, dan memang seharusnya tidak. Tapi kita perlu sadar bahwa dalam konteks ekonomi makro, percepatan efisiensi juga perlu dibarengi dengan pertumbuhan permintaan agar tidak jatuh ke jebakan deflasi.

7. Krisis Keuangan atau Ketidakpastian Politik

Krisis keuangan, instabilitas geopolitik, atau kekacauan politik dalam negeri bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dan pasar. Saat rasa aman hilang, masyarakat akan lebih memilih menahan uang mereka. Konsumsi dan investasi menurun drastis. Jika ini berlangsung lama, perputaran uang dalam ekonomi melambat, dan ini adalah resep klasik untuk deflasi.

Contohnya, pada krisis global tahun 2008, banyak negara mengalami kontraksi ekonomi parah akibat jatuhnya sektor perbankan dan properti. Di masa itu, orang kehilangan pekerjaan, belanja besar-besaran dihentikan, dan perusahaan gulung tikar. Meskipun Indonesia relatif tangguh saat itu, dampak perlambatannya tetap terasa.

Kondisi serupa juga tampak saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020. Di tengah ketidakpastian, baik masyarakat kelas bawah maupun menengah atas lebih memilih menabung daripada konsumtif. Pemerintah memang menggelontorkan stimulus fiskal, tapi karena ketidakpastian tinggi, banyak yang tetap berhati-hati.

Selain itu, faktor politik seperti ketegangan pemilu, perubahan kabinet, atau ketidakpastian hukum dan regulasi juga dapat memperlambat investasi dan mendorong pelaku bisnis untuk menunda ekspansi. Semua ini memperparah potensi deflasi jika tak segera ditangani secara strategis.

Lindungi Uangmu dari Risiko Deflasi dengan FINETIKS

Menghadapi risiko deflasi bukan cuma tugas pemerintah dan pengusaha. Sebagai individu, kamu juga perlu punya strategi cerdas dalam mengelola keuangan. Di sinilah peran FINETIKS, aplikasi manajemen keuangan berbasis AI yang membantu kamu mengatur pemasukan, pengeluaran, dan memaksimalkan potensi menabung.

Dengan fitur VIP Save, kamu bisa menikmati tabungan dengan imbal hasil hingga 6,25% per tahun, jauh lebih tinggi dari tabungan konvensional. Stabil, aman, dan anti-tergerus deflasi.

Yuk, ubah mindset dari konsumtif ke produktif. Bersama FINETIKS, kamu nggak cuma tahan krisis, tapi juga bisa tumbuh lebih cepat. 

Download aplikasi FINETIKS sekarang!

Trending Articles