Mungkin kamu pikir “tarif impor” itu cuma urusan negara besar seperti Amerika dan China. Tapi kenyataannya, kebijakan tarif, apalagi yang seagresif Tarif Trump, punya efek global yang bisa langsung memengaruhi kondisi keuangan kamu. Harga barang naik, daya beli turun, nilai tukar rupiah bergejolak. Jadi, yuk bahas bareng!
Sebelum Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2017, kebijakan perdagangan internasional AS didominasi oleh pendekatan yang lebih terbuka dan multilateral. Rata-rata tarif impor yang dikenakan Amerika berada di kisaran 1,4% hingga 3%, salah satu yang paling rendah di dunia.
Pendekatan ini didorong oleh semangat globalisasi dan kerja sama ekonomi lintas negara, yang diwujudkan lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas seperti NAFTA (untuk kawasan Amerika Utara), keanggotaan aktif di WTO, serta skema GSP (Generalized System of Preferences) yang memberikan tarif preferensial bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dengan skema tarif rendah dan semangat liberalisasi perdagangan yang kuat, ekonomi dunia saat itu berada dalam situasi relatif stabil. Rantai pasok global berjalan lancar, harga barang konsumsi tetap kompetitif, dan perusahaan multinasional bebas membangun jaringan produksi lintas negara tanpa khawatir dikenakan tarif tinggi.
Kebijakan ini juga memberikan keuntungan besar bagi konsumen Amerika karena mereka bisa mengakses produk impor berkualitas dengan harga terjangkau. Untuk negara seperti Indonesia, kondisi ini membuka peluang besar untuk ekspor dan integrasi dalam rantai nilai global tanpa beban tarif tinggi.
Ketika Donald Trump mulai menjalankan masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat, arah kebijakan perdagangan luar negeri AS berubah drastis. Di awal 2018, Trump secara resmi memberlakukan tarif baru atas baja sebesar 25% dan aluminium sebesar 10%. Langkah ini didasarkan pada argumen bahwa impor komoditas tersebut mengancam keamanan nasional AS. Namun, kebijakan itu justru memicu ketegangan besar dalam hubungan dagang internasional.
Tidak berhenti di situ, antara Juli hingga Desember 2018, Trump menerapkan tarif tambahan terhadap ribuan produk asal Tiongkok, dengan tarif mencapai 25%, sebagai bagian dari upaya untuk menekan praktik perdagangan yang dinilai "tidak adil" dan merugikan Amerika.
Kebijakan tarif ini dengan cepat merambat menjadi perang dagang global. Negara-negara mitra utama Amerika seperti Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko tidak tinggal diam, mereka membalas dengan mengenakan tarif serupa terhadap produk-produk asal AS. Dunia usaha dan pasar finansial langsung merespons dengan ketidakpastian.
Investor kehilangan kepercayaan, pasar saham berfluktuasi tajam, dan banyak perusahaan multinasional menunda ekspansi atau melakukan relokasi produksi untuk menghindari dampak tarif. Ekonomi global yang sebelumnya tumbuh stabil mulai menunjukkan tanda-tanda goyah, dan dalam waktu singkat, konflik tarif ini menjadi salah satu sumber gejolak ekonomi terbesar dalam dekade tersebut.
Saat Joe Biden terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada Januari 2021, banyak pihak berharap kebijakan perdagangan luar negeri AS akan kembali ke jalur multilateral dan lebih stabil. Biden memang membawa pendekatan yang lebih diplomatis dan terukur dibanding pendahulunya. Namun kenyataannya, ia tidak langsung mencabut tarif tinggi yang diwariskan dari era Trump.
Sebagian besar tarif yang dikenakan terhadap barang-barang impor dari Tiongkok, Uni Eropa, dan negara lainnya tetap diberlakukan. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun Biden mengusung narasi pemulihan hubungan dagang, perang dagang tidak benar-benar berakhir, melainkan bertransformasi menjadi alat negosiasi strategis jangka panjang.
Alih-alih menghapus tarif secara frontal, Biden memilih pendekatan evaluatif dan menggunakan tarif sebagai "bargaining chip" dalam dialog dagang, terutama dengan Tiongkok. Ia juga menekankan pentingnya membangun kembali rantai pasok domestik dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara tertentu untuk barang strategis seperti semikonduktor dan produk medis.
Di saat yang sama, pemerintahannya mulai fokus pada penguatan manufaktur dalam negeri melalui subsidi dan insentif fiskal. Jadi, meskipun gaya dan narasinya berbeda dari Trump, Biden tetap mempertahankan esensi strategi proteksionis yang berdampak luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang tetap harus berhitung dengan risiko tarif tinggi dan ketidakpastian perdagangan global.
Setelah memenangkan pemilu dan resmi kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2025, Donald Trump tidak butuh waktu lama untuk kembali menghidupkan kebijakan tarif agresif yang dulu menjadi ciri khasnya. Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, ia langsung menandatangani sejumlah kebijakan perdagangan yang mengejutkan banyak pihak, sebagai berikut:
Kebijakan tarif agresif Trump di tahun 2025 langsung memicu guncangan besar dalam sistem perdagangan global. Salah satu dampak paling nyata adalah kenaikan harga barang konsumsi di Amerika Serikat.
Karena tarif dikenakan ke barang impor, biaya produksi naik, dan perusahaan pun mau tidak mau menaikkan harga jual. Konsumen AS akhirnya harus membayar lebih mahal untuk berbagai produk, dari elektronik, otomotif, hingga barang kebutuhan sehari-hari. Efek berantainya terasa di berbagai negara eksportir, karena permintaan dari AS sebagai pasar utama mulai melemah. Ketika pasar AS mengecil, produsen global kehilangan sebagian besar pendapatan ekspor mereka.
Tak hanya soal harga, dampak lainnya adalah perlambatan ekonomi global. Ketika perdagangan internasional tersendat, rantai pasok menjadi kacau. Banyak pabrik di Asia dan Eropa mengalami kesulitan memenuhi permintaan atau justru kelebihan stok karena ekspor tertahan tarif.
Dunia usaha jadi enggan berinvestasi dalam ekspansi, dan sektor manufaktur mengalami penurunan aktivitas. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan OECD pun mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan global untuk 2025, bahkan memperingatkan risiko resesi teknikal jika perang dagang terus bereskalasi. Negara-negara berkembang, termasuk di Asia Tenggara dan Amerika Latin, juga terdampak karena bergantung pada stabilitas perdagangan global dan investasi asing.
Singkatnya, kebijakan satu negara kini menggoyang ekonomi seluruh dunia.
Indonesia tak luput dari dampak lanjutan kebijakan tarif tinggi ala Trump. Meskipun secara langsung Indonesia bukan target utama perang dagang, tapi sebagai bagian dari ekosistem perdagangan global, efek domino-nya sangat terasa. Diantaranya:
Pemerintah Indonesia pun harus bekerja ekstra untuk menjaga stabilitas ekonomi, sembari mencari pasar alternatif agar ekspor tetap bergerak. Di tengah situasi global yang tidak menentu, penting bagi masyarakat untuk mulai menyesuaikan strategi keuangannya, karena efek dari perang dagang ini bukan lagi soal politik luar negeri, tapi langsung menyentuh isi dompet kita.
Kebijakan tarif Trump bukan cuma soal ekonomi global yang bergejolak, ini tentang bagaimana kamu, sebagai individu, bisa tetap stabil di tengah ketidakpastian. Perang dagang terbukti bikin harga barang naik, daya beli melemah, dan nilai tukar jadi tak menentu. Artinya, tabunganmu bisa tergerus inflasi, dan gaji tetap tapi kebutuhan makin mahal.
Kalau kamu masih berpikir "nanti aja atur duitnya", sayangnya kamu bisa ketinggalan momentum penting buat selamatin kondisi finansial pribadi. Tarif Trump bukan cuma masalah negara, tapi wake-up call buat kamu mulai melek finansial.
Di sinilah peran FINETIKS jadi krusial. Dengan aplikasi manajemen keuangan berbasis AI ini, kamu nggak cuma bisa ngatur pemasukan dan pengeluaran dengan cerdas, tapi juga bisa mulai nabung di tempat yang tepat.
Lewat fitur VIP Save, kamu bisa dapat bunga hingga 6,25% per tahun, jauh di atas rata-rata tabungan biasa, solusi anti-inflasi yang relevan banget di situasi sekarang. Jadi daripada uangmu diam dan nilainya turun, lebih baik kamu ubah mindset: dari reaktif jadi proaktif. Karena krisis bisa datang kapan saja, tapi dengan FINETIKS, kamu bisa tetap tenang dan siap, kapan pun tarif naik lagi.
Download aplikasi FINETIKS sekarang!